Tembalang, Semarang, 7 Mei 2025 – Smart farming merupakan wujud nyata dari kemajuan sektor pertanian di era digital. Dukungan terhadap smart farming tidak terlepas dari peran pemanfaatan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Bercermin dari negara-negara yang telah lebih dahulu maju dalam menerapkan teknologi pertanian, seperti Thailand, Indonesia pun mulai mengembangkan sistem smart farming sebagai solusi inovatif di bidang pertanian. Saat ini, petani di Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bagian dari revolusi digital dalam sektor pertanian. Semangat inilah yang disampaikan oleh Assoc. Prof. Sutkhet Nakasathien, Ph.D., dari Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Kasetsart University, Thailand, dalam kuliah umum internasional yang diselenggarakan secara daring oleh Program Studi S1-Agroekoteknologi, Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP), Universitas Diponegoro.
Acara yang mengusung tema “Revolutionizing Agriculture: Cutting-Edge Smart Farming Technologies for Every Scale” ini diikuti oleh ratusan peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, hingga praktisi pertanian. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program Visiting Professor yang secara rutin diselenggarakan FPP Undip untuk memberikan wawasan global kepada sivitas akademika di lingkungan UNDIP. Dalam paparannya, Prof. Sutkhet menyampaikan bahwa tantangan utama pertanian saat ini bukan hanya soal hasil panen, tetapi bagaimana menghadapi perubahan iklim, degradasi lahan, dan keterbatasan sumber daya alam. Untuk itu, beliau menekankan pentingnya pendekatan berbasis teknologi yang adaptif dan inklusif pada bidang pertanian.
“You don’t have to buy a million-dollar drone to start smart farming,” ungkapnya. “You can begin with a smartphone and a soil sensor that costs less than dinner.” Menurutnya, smart farming tidak harus dimulai dengan teknologi mahal atau rumit. Banyak teknologi sederhana yang sudah terbukti efektif membantu petani mengambil keputusan penting, mulai dari jadwal tanam, irigasi, hingga pengendalian hama. Di Thailand, kampus Kasetsart telah mengembangkan berbagai prototipe alat murah seperti sensor kelembapan tanah, kamera monitoring berbasis AI, dan aplikasi cuaca mikro berbasis komunitas. Semua dikembangkan melalui kerja sama antara akademisi dan petani lokal. Selain itu, Prof. Sutkhet menyampaikan terkait isu participatory innovation, dimana, pengembangan teknologi yang dimulai dari kebutuhan nyata petani. Ia menekankan bahwa akademisi dan mahasiswa harus turun ke lapangan, mendengar langsung kebutuhan dan kendala yang dihadapi petani.
“We don’t develop tech in isolation. We go to the field, sit with farmers, and start from what they really need,” ujarnya. Mahasiswa pun didorong untuk lebih aktif menjadi jembatan antara teknologi dan masyarakat. Dalam beberapa proyek di Thailand, Prof. Sutkhet melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pendampingan digital bagi petani, termasuk pelatihan penggunaan aplikasi dan instalasi sensor sederhana.
Menurut [Dr. Dian Safitri S.P. M.Si/Staf pengajar dilingkup FPP UNDIP], pemanfaatan teknologi dalam bidang pertanian merupakan hal terpenting dalam mendukung keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia. “Digital literacy is as important as the technology itself, and “If we ignore this, even the best tools won’t change anything.”
Dalam sesi diskusi, beberapa peserta menyampaikan pertanyaan kritis, salah satunya soal hambatan implementasi teknologi digital di kalangan petani kecil, khususnya terkait keterbatasan akses internet dan kemampuan menggunakan perangkat digital. Menanggapi hal tersebut, Prof. Sutkhet mengatakan bahwa hal itu juga menjadi tantangan besar di Thailand dan banyak negara berkembang lainnya. Prof. Sutkhet menyarankan agar perguruan tinggi turut mengambil peran sebagai pusat edukasi digital bagi petani dan penyuluh. Salah satu strategi yang diterapkan di Thailand adalah membentuk kelompok pelatih muda yang berasal dari kalangan mahasiswa untuk membantu petani mengoperasikan alat dan aplikasi pertanian digital. Pelaksanaan kegiatan Visiting Professor Program Studi S1- Agroekoteknologi, Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP), Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah.
Isu lain yang mengemuka dalam diskusi adalah soal kepemilikan data petani. Dengan semakin banyaknya sensor, aplikasi, dan pemantauan berbasis AI, muncul kekhawatiran bahwa data yang dihasilkan petani bisa disalahgunakan oleh perusahaan besar. Prof. Sutkhet menanggapi dengan tegas, “Data belongs to the farmer. Companies must be transparent, and farmers must be part of the value chain created from that data.” Beliau menyampaikan bahwa kelengkapan pengumpulan data yang akurat akan mendorong pentingnya regulasi yang adil dan keterlibatan komunitas petani dalam pengelolaan data. Dalam beberapa inisiatif di Thailand, data sensor di satu desa dikelola secara kolektif dan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan untuk keuntungan individu atau korporasi. Kegiatan kuliah umum ini mendapatkan respon positif dari para peserta. Banyak mahasiswa yang merasa terinspirasi untuk lebih serius mendalami pertanian berbasis teknologi.
“Saya jadi sadar bahwa kita bisa mulai dari hal kecil, seperti membuat sensor sederhana atau sistem irigasi otomatis. Tidak harus menunggu jadi ahli dulu,” ujar Indah, mahasiswa semester 6. Sementara itu, dosen Prodi Agroekoteknologi, Septrial Arafat SP., MP. menyampaikan apresiasinya terhadap materi dan metode penyampaian Prof. Sutkhet yang sangat kontekstual dan membumi. “Beliau bukan hanya menjelaskan teknologi, tapi juga menunjukkan sisi sosial dan etika dalam inovasi pertanian. Itu sangat penting bagi mahasiswa kami,” ujarnya Kuliah umum ini menjadi pengingat bahwa masa depan pertanian tidak lepas dari peran generasi muda, khususnya mahasiswa pertanian. Revolusi teknologi tidak hanya terjadi di pabrik atau laboratorium, tetapi juga bisa dimulai dari sawah dan ladang. “Smart farming is not about replacing the farmer. It’s about empowering them,” pungkas Prof.
Sutkhet sebelum menutup sesi. Dengan semangat kolaboratif, pendekatan bertahap, dan inovasi yang terjangkau, pertanian cerdas bisa menjadi jalan menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan—tidak hanya di Thailand, tetapi juga di Indonesia.